Desa Jambu Kecamatan Wangon

Kamis, 27 April 2017

Mencari Sesuap Nasi ; Kisah Pemimpin dan Pekerja

Menyikapi berbagai persoalan yang timbul dari sebuah proses kepemimpinan, dirasakan begitu banyak orang yang tumbuh dan hidup darinya. Sikap dan perilaku seorang pemimpin, mencerminkan kepribadian dan tolok-ukur keberhasilannya dalam pengelolaan lembaga yang dipimpin.

Banyak orang yang menyandarkan hidup pada mereka yang memiliki usaha bisnis. Karena itu dalam keseharian di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, bermunculan kisah-kisah menarik para penghamba pekerjaan. Ada yang sukses menjadi bawahan, baik karena keberaniannya untuk berpegang pada keuletan dan profesionalitas, maupun karena keberhasilannya yang gemilang karena sukses menjilat atasan dan rela mengorbankan hargadiri demi sesuap nasi. 
Zaman yang penuh kemajuan memang begitu kata seorang teman. Penuh dengan pengorbanan karena kebutuhan yang semakin meningkat. Orang-orang rela melangkahkan kaki jauh dari keluarga, meningggalkan anak-istri, orang tua dan kampung halamannya, demi mendapatkan kehidupan yang layak dan menjanjikan. Jadilah manusia negeri ini sebagai seorang yang suka merantau ke negeri lain, hanya dengan harapan yang sangat klise, “merubah nasib.”

Alih-alih memperbaiki nasib yang katanya dengan mencari pekerjaan tersebut, banyak pula kisah ditemui, seorang perantau akhirnya harus merubah eksistensinya dari seorang yang punya “kelebihan” di kampung halaman, menjadi seorang yang harus bersusah payah mencari sesuap nasi.

Sebenarnya, bukan itulah yang terpenting. Wajar saja, untuk merubah nasib yang lebih baik sesuai harapan, seseorang perlu mengambil keputusan yang tepat. Salah satunya dengan menjadi tenaga kerja di berbagai institusi non pemerintah, pabrik, lembaga jasa ataupun lainnya. Apapun bentuk profesi yang dijalani, tentunya akan dapat merubah nasib daripada hidup apa adanya di negeri asal.

Bahkan ada pula sebagian orang, hijrah untuk merubah hidup bukan karena ketiadaan materi di negerinya. Tapi lebih pada upaya menjembatani keterampilan dan keahlian yang dimiliki, yang dirasa tidak mendapat tempat strategis di tempat asal. Mereka rela memulai hidup, yang kadang malah tidak lebih layak dari sebelumnya, hanya untuk memulai upaya sesuai mimpi dan keinginannya yang terpendam begitu lama. Ada yang buka usaha di negeri baru, karena menurutnya usaha yang akan dibangunnya tidak tepat kalau dikembangkan di kampung halamannya. Ada pula yang berupaya mengaplikasikan keterampilannya, yang menurutnya lebih tepat untuk dikembangkan di daerah yang lebih maju. Begitu beragam alasan seseorang memulai hidup dengan harapan tumbuh dan sukses di daerah baru.

Sekarang, mari kita tilik bagaimana seorang perantau dengan segala alasannya meninggalkan negerinya mencoba hidup dengan orang lain sebagai “tuannya.” Seperti kisah-kisah haru yang sering kita temui, ada yang menuliskan dalam bentuk novel, ada pula yang menuliskan dalam biografinya, tentang bagaimana susahnya menjadi bawahan dengan pimpinan tempatnya bekerja. Semua kisah itu, ada yang menyanjung dan menuturkan kata “terimakasih” berulang-ulang, karena bantuan yang diterimanya dari atasan, tapi banyak pula yang mengisahkan cerita sedih dan memilukan.

Pemimpin, atasan, majikan, atau apapun label yang diberikan pada seorang pemberi kerja, menginspirasi banyak orang yang bekerja padanya untuk menjadi seorang penulis dadakan. Semua itu kadang hanya terpicu oleh pola kepemimpinan yang dirasakannya selama menjalani profesi.

Kini, bila mengarah pada pemimpin yang seolah sebagai “malaikat penyelamat” bagi bawahannya yang datang dari daerah, dirasakan pula begitu pentingnya memahami teknik kepemimpinan yang lebih luas dan dalam. Seorang pemimpin, mestilah mempunyai kelebihan dari para bawahan yang dipimpin dan institusi yang dikelolanya. Bukan malah menjadi “trouble maker” sehingga mengacaukan sistim ; yang kadang juga tidak jelas.

Pengetahuan tentang manajemen, ternyata menjadi begitu penting dipunyai oleh seorang pemimpin, baik pemimpin yang mengelola institusi kecil sekalipun. Semakin tinggi pengetahuan seorang pemimpin dalam mengelola tenaga kerja dan sistim yang ada, serta merta akan membawanya pada kesuksesan usaha. Namun bila tidak, maka sering pula kita temui lembaga dan institusi yang bongkar pasang tenaga kerja, gonta-ganti anak buah. Semua itu mencerminkan tidak adanya profesionalisme. Padahal, banyak pula ditemui di lapangan, tempat-tempat usaha yang di dalamnya memiliki banyak pekerja ulet, tangguh dan memiliki loyalitas serta dedikasi tinggi, tidak terkelola dengan baik.

Seorang pemimpin yang berjalan tanpa adanya pengetahuan cukup untuk memimpin, dan hanya mengedepankan diri sebagai seorang “malaikat penyelamat,” biasanya akan berakhir dengan kegagalan usaha, karena ditinggalkan oleh pekerja.

Memimpin itu tidak sulit, kata seorang teman pula. Yang dibutuhkan cuma sedikit, yakni pengetahuan dan keterampilan komunikasi, selebihnya adalah tugas para bawahan. Namun bila kebutuhan yang sedikit itu tidak dimiliki, maka alamat akan hancur sistim dan pengelolaan yang dibangun antara pemimpin dan yang dipimpin.

 
Sumber: Pewarta Indonesia